Minggu, 31 Januari 2010

Filosofi Laut, Pesan dalam Botol dan Anak Kecil

Filosofi Laut : Berpikir Luas Menghadapi Masalah
Sekitar bulan Mei sd. Juni 2009, awan mendung menyelimuti hati. Emosi yang meluap-luap membuat saya berkontemplasi dan bersedih setiap malam, mencari makna apa yang saya lakukan. Dalam benak saya, berpikir positif rasanya sudah saya lakukan, tapi kenapa semuanya menjadi tidak karuan? Pantai atau laut satu-satunya tujuan saya. Saya ingin mencari penyejuk dan menggairahkan kembali jiwa saya. Mendapat pesan dalam botol yang terapung, kira-kira itu harapan saya (kaya dongeng aja kan?). Pesan itu paling tidak bisa membuka mata saya, entah siapapun yang membuatnya dan apapun isinya. Sekalian, saya ingin melihat ciptaanNya lebih banyak lagi.
Tapi kenapa laut atau pantai? Saya teringat akan kata-kata mama saya : “Pandanglah laut ataupun pantai jika kamu merasa kecewa, kesal dan sedih. Tataplah deburan ombaknya yang menggulung ke arah daratan. Anggaplah ombak yang menuju ke daratan itu waktu yang akan menggulung semua kekesalan dan kesedihanmu yang terukir di pasir. Dia tidak akan menetap, selalu melangkah mundur, berganti dengan ombak lain untuk menghapus jejak pada pasir. Berpikirlah luas, seluas laut selebar pantai supaya kamu tidak berpikir picik dan sempit. Laut atau pantai bisa menjadi tempat untuk menjernihkan pikiran”. Filosofi yang sederhana untuk menyikapi hidup.
Berawal dari kekesalan dan kesedihan saya akan suasana di kantor, saya memutuskan untuk memanfaatkan hari libur dengan pergi ke luar kota. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya kemudian menerima email dari sebuah milis, yang isinya tentang tawaran untuk pergi menjelajah Ujung Genteng dan sekitarnya bulan Juli, dengan rute yang cukup menarik. Saya senang bukan kepalang. Refleks, wajah saya berseri-seri. Jadwal masih 1 bulan lagi, saya langsung menghubungi EO dan melunasi biaya. Hahaha…saya tidak kenal EO nya, tapi saya kok percaya saja ya? Tidak ada perasaan takut akan dibohongi. Berbeda dengan teman-teman saya yang lain, mereka ternyata menyelidiki sang EO, dengan bertemu terlebih dahulu, takut kalau uang mereka dibawa “kabur”. Ternyata, hati nurani saya tidak salah menilai orang, karena mereka orang yang baik.
Ini perjalanan saya yang pertama dengan orang lain, yang sama sekali tidak saya kenal secara personal. Teman-teman peserta 10 orang yang berasal dari mana-mana dan EO 2 orang yang baru kenal, tidak menyurutkan niat saya. Saya memang wanita, dan berpikir, saya harus berani, kenapa harus takut? Ada yang macam-macam, saya sikattt!!!Hehehe…Entah kenapa, saya percaya lagi, mereka semua baik-baik. Kalaupun saya tertimpa bahaya, saya pasrah saja. Alasan inilah yang membuat saya meminta maaf pada beberapa teman di kantor plus beberapa “wasiat”, dengan mengatakan saya akan keluar kota dan menembus bahaya yang bisa saja membuat saya tidak kembali. Maklum, ketika mereka tahu bahwa saya akan traveling ala semi backpacker, mereka nggak heran, karena selama ini mereka tahu bahwa saya bukan wanita manja dan tidak takut menjadi “black” alias item. Dan mereka mendoakan saya selamat. Hahaha…kalau teringat sekarang, lucu rasanya memandang wajah mereka ketika itu.
Berangkat menuju Ujung Genteng : Berharap menemukan Pesan dalam Botol
Perjalanan pertama tapi saya dibekali dengan panduan perangkat yang baik oleh EO. Berangkat jumat malam, berkenalan dengan teman-teman yang kebanyakan wanita. Aha…ini mengejutkan. Saya pikir selama ini yang suka bertualang, menjelajah daerah wisata yang baru hanya pria saja. Ternyata, saya salah. Dari 11 orang peserta, hanya 2 orang pria, dan salah satunya beserta istrinya (takut gimana-gimana kali ya?? Hehehe…). Malam berganti pagi, dan kami pun berkenalan secara alami. Mereka baik-baik, lucu dengan humor segar dan menyenangkan. Ah, indahnya berkenalan dengan mereka yang berasal dari profesi, ras, suku dan budaya serta agama yang berbeda-beda. Ada yang guru, pengusaha, akuntan dan marketing dsb menjadi satu keluarga : 11 at UG.
Menginap di sebuah penginapan yang dekat dengan pantai (kata sang EO, pantai nggak bernama tapi masih gugusan dari Pantai Aquarium).  Jadwal kegiatan sudah di susun. Tapi lagi-lagi, saya hanya merindukan pantai. Dari 2 pantai yang saya kunjungi, saya menyukai semuanya yakni pantai tak bernama dan pantai aquarium. Tapi yang sangat berkesan adalah “Pantai Tak Bernama”.
Pantai Tak Bernama. Persis di depan penginapan. Malam hari saya berjalan menyusuri pantai bersama beberapa teman. Hampir jam 12 malam, udara sedikit dingin. Menendang pasir dan melihat pantai yang kebetulan sedang surut plus memandang bulan. Indah nian. Saya sering termenung saat itu, memikirkan “beban” yang saya bawa dari pekerjaan dan membandingkan dengan keadaan pantai sambil mata berkaca-kaca. Bahkan, saya sampai ditegur dan diajak bicara terus sama sang EO yang telah menebak bahwa saya banyak pikiran (mungkin takut saya jadi terlalu sedih) hehehe…Untuk mengalihkan perhatian, saya mencari kepiting-kepiting kecil dan melihatnya berjalan. Lucu dan unik.
Esok pagi, sekitar jam 7, sebelum berangkat ke tempat wisata yang lain, saya dan beberapa teman kembali menyusuri pantai. Hari itu cerah sekali. Bersama teman yang lain, foto-foto narsis, mencari-cari sedikit bentuk unik hasil dari alam untuk di bawa pulang (ada yang mau ditaruh di aquarium, katanya). Berkali-kali saya tidak hanya berjalan di atas pasir, tapi berjalan dalam air. Merasakan air yang diterpa angin menjadi riak-riak kecil yang sungguh membuat senang. Celana pendek saya bahkan basah.
menyusuri
menyusuri
Sampai ke suatu tempat yang menurut saya pas untuk memandang bebas dan sengaja meninggalkan teman saya di belakang. Saya ingin Keheningan. Saya memandang hasil ciptaan yang Kuasa. Ah, indah nian. Bentuk syukur saya, hanya bisa berkata “Tuhan sangat baik”. Saya pasti akan ketagihan pergi traveling lagi (terbukti, perjalanan selanjutnya saya ke Ujung Kulon).
Kontemplasi saya dimulai di sini. Saya benar-benar menangis (air mata saya jatuh ke air, terbawa ke mana-mana), menumpahkan kekesalan dan kemarahan saya belakangan ini, di pantai itu. Sambil berbicara dengan Yang Kuasa dalam suasana hening, dalam hati mengingat-ingat kembali beberapa hal yang terjadi dan berusaha menjernihkan pikiran. Inti dari pengasingan saya beberapa hari adalah saya kesal dan tidak dapat membendung kesedihan saya. Terkadang saya menuntut orang mengerti (tanpa saya berkata-kata) bahwa saya telah berbuat sepenuh hati saya tanpa ada niat buruk, tapi ternyata saya salah. Mereka kadang tidak mengerti, malah mengartikan hal yang negatif. Saya telah mencoba memberikan pengertian, tapi tetap tidak dapat dicerna oleh mereka. Saya kalah, sangat kalah!!!. Saya kalah bernegosiasi dengan pikiran saya, saya tidak bisa mengendalikannya. Efeknya, saya lelah, makan tidak teratur dan menenggelamkan semuanya dalam rasa apatis.
Akhirnya, sampai di satu kesimpulan dan titik pencerahan, saya hanya berpikir Pertama : tetap berpikir positif terhadap masalah dan teman-teman saya. Kedua, Percaya dan Yakin bahwa semuanya akan berakhir dengan baik, apa yang telah saya lakukan akan berbuah manis sejalan dengan waktu” terhadap masalah dan teman-teman saya.  Sambil itu, mata saya tetap mencari-cari, adakah botol yang terapung dengan pesan di dalamnya? Nihil.
Bukan Pesan dalam Botol tapi Belajar dari Anak Kecil
Kontemplasi saya segera selesai karena saya merasa gemuruh di dada saya sudah “plong”, sejalan dengan teriakan teman saya untuk mengajak berfoto. Kami berjalan lagi menyusuri pantai. Eh, ada 4 orang anak kecil sedang bermain juga dengan air. Saya mengajak mereka berfoto. Saya percaya mereka masih anak-anak yang murni. Mereka malu-malu ketika saya ajak berfoto di atas karang kecil (di foto sama sang EO). Hahaha..mereka mungkin berpikir, “kok artis mau berfoto dengan saya” hahaha…narsis saya keluar. Saya bilang kepada mereka “ayo senyum…”nah, foto di atas adalah hasilnya. Ada satu anak yang saya pangku dan semuanya sukses senyum dengan manis dan tanpa terpaksa kan?
Pesan tidak saya dapati dalam botol, tetapi melalui wajah anak-anak yang bertemu dengan saya, karena ternyata, sampai kembalinya saya dari pantai, saya tetap tidak menemukan botol dengan pesan di dalamnya. Tapi saya menemukan pesan dari senyuman anak-anak itu. Mereka murni, polos dan lugu sekali, terbaca dari wajah mereka.
Pastilah, mereka bukan anak-anak yang berada, bisa jadi mereka adalah anak-anak nelayan. Tapi mereka bisa bergembira dengan keadaan mereka. Sedangkan saya? Saya kadang tidak bisa makan bukan karena tidak ada uang, tidak bisa tidur karena tidak ada tempat yang layak, tapi karena tenggelam dalam pikiran. Oleh karena itu, Saya belajar dari mereka : “Melakukan dengan keyakinan positif, Murni apa adanya dan Senyum”.
Saya bawa “pesan” itu ketika pada hari berikutnya saya kembali berkutat dengan pekerjaan. Langkah saya ringan, menebar senyum dan bercanda dengan sekitar saya, serta mengatur waktu untuk banyak hal. Saya lupakan yang telah terjadi, seolah tidak ada apa-apa dan saya menatap hari berikutnya. Waktu membuktikan semuanya. Hal-hal yang tadinya telah terjadi dan terasa menakutkan kini kembali normal. Saya hanya bisa tersenyum dan mengucap syukur untuk semuanya. Sekarang, hampir setahun sejak peristiwa itu, saya jadi terpikir untuk bertemu ke empat anak-anak itu atau anak-anak lain, memangku mereka kembali dan berfoto lagi.

ditulis oleh: 
Silveria Verawaty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blog Archive